Oleh M. Najib Yuliantoro*
Menjadi muslim minoritas, lebih-lebih di sebuah negara yang mayoritas penduduknya tak sepenuhnya percaya kepada agama, seperti di Eropa, adalah sebuah tantangan tersendiri. Tantangan itu berasal dari berbagai sisi kehidupan dan dalam perjalanannya sangat berpengaruh dalam cara kita beragama, bermasyarakat dan berbudaya.
Mereka yang tak tahan dengan berbagai tantangan yang sebagiannya memiliki perbedaan pandangan dengan nilai-nilai Islam biasanya akan dengan mudah melakukan (r)evolusi diri dengan cara meleburkan diri menjadi bagian dari umumnya identitas masyarakat tersebut. Sedangkan mereka yang masih berusaha mempertahankan nilai dan identitas keislamannya umumnya akan saling bertemu, membentuk komunitas yang senafas, biarpun isinya hanya segelintir orang.
Dua bentuk respon pertemuan dua identitas tersebut, katakanlah: Islam dan Eropa, bukan tanpa konsekuensi. Pada respon yang pertama, mereka akan diterima secara positif dan terbuka oleh masyarakat Eropa walaupun dalam perjalanannya secara tak sadar mereka akan kehilangan identitas dan jati diri keislamannya. Sementara pada respon yang kedua, pada umumnya jati diri keislamannya akan tetap tumbuh kuat bersamaan dengan semakin terpisahnya diri mereka dari cara bermasyarakat dan berbudaya masyarakat Eropa. Padahal, bila dipandang secara jujur, kedua repon tersebut sesungguhnya masih menyisakan berbagai persoalan yang tidak ringan.
Salah satu pokok persoalan yang paling krusial adalah gagalnya umat Islam pendatang dalam membantu masyarakat muslim Eropa untuk merekonstruksi identitas keislaman mereka sendiri. Selama ini, Islam yang muncul di Eropa adalah Islam yang identik seperti di mana pendakwah itu berasal. Pendakwah yang berasal dari Maroko, Turki atau Afrika, biasanya akan begitu saja menghadirkan Islam yang identitas budayanya tidak jauh berbeda dari identitas keislaman sebagaimana yang berkembang di negara mereka. Demikian pula pendakwah yang berasal dari Asia seperti Malaysia, Thailand, dan Indonesia, mereka juga selalu membawa identitas Islam sebagaimana mereka miliki di Asia. Termasuk di dalam kecenderungan tersebut juga diikuti oleh para Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) di Eropa dan mungkin juga PCINU di benua-benua lain.
Pribumisasi Islam Eropa
Sebagaimana diketahui bahwa sejak Muktamar NU ke-30 Lirboyo memberi rekomendasi diperbolehkannya pendirian PCINU di luar negeri, NU telah memasuki babak baru dalam sejarahnya. Dalam Kongres I PCINU se-Dunia di Beirut, 7-9 Juli, 2012, tercatat lebih dari 20 PCINU yang telah berdiri dan aktif. NU kini bukan lagi organisasi tingkat nasional, namun juga telah bergerak menjadi organisasi internasional.
Melihat perkembangan yang menggembirakan tersebut, PCINU sudah sepantasnya dipandang sebagai angin segar bagi pengembangan Islam yang sejuk ke seluruh dunia. Dalam konteks ini, PCINU hendaknya tidak dipandang sebagai sekadar “ajang reuni” bagi mereka yang sejak lahir sudah NU, akan tetapi mesti digerakkan untuk membawa misi menjadi inisiator utama, menjadi pemberi solusi dari sekian persoalan yang penulis kemukakan di muka, yakni—meminjam istilah Gus Dur—menjadi gerakan “pribumisasi Islam” di mana PCINU itu berada.
Untuk kasus Eropa, harus diakui bahwa PCINU belum sampai pada maqam dakwah “pribumisasi NU” kepada penduduk pribumi Eropa. Sebuah maqam dakwah yang berijtihad menjadikan budaya lokal Eropa sebagai “strategi dakwah” persis seperti ketika Walisongo menempatkan entitas-entitas budaya lokal sebagai alat strategis untuk berdakwah melalui pembaharuan dan pembuangan entitas budaya seperlunya. Walisongo melakukan apa yang selama ini menjadi adagium NU: “Memelihara tradisi lama yang baik, menyerap tradisi baru yang baik; Al-muhafadhatu ‘ala al-qadimis shalih wa al-akhdzu bil-jadidi al-aslah”.
PCINU secara transformatif dan emansipatif belum berdiri di atas maqam meletakkan Islam yang berkembang di Eropa sebagai Islam khas Eropa dan cenderung mendiamkan berkembangnya Islam khas Timur Tengah di Eropa yang justru itu tampak berhadapan dengan akar kebudayaan bangsa Eropa itu sendiri.
Sebagaimana respon kedua di atas, pendirian PCINU sebatas untuk memperjelas dan memperkuat identitas ke-NU-an anggotanya di tengah kepungan identitas-identitas lain yang barangkali berseberangan di Eropa. Sehingga kemudian tidak aneh bila kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan umumnya adalah sebagaimana pernah dilakukan ketika di Indonesia dan sebagian besar hanya dihadiri dan diikuti oleh mereka yang sejak awal sudah NU di Indonesia.
PCINU akhirnya tak ada bedanya dengan komunitas-komunitas para pendatang lainnya, yang duduk terpisah dari lokalitas Eropa. Bila sudah begini, maka kemungkinan keberlanjutaannya ada dua macam: semakin menguat menjadi komunitas independen dan betul-betul tak terkait dengan faktas lokalitas budaya di Eropa, atau malah semakin melemah karena tergerus oleh gempuran identitas-identitas lokal, yang memang sudah mapan, dan boleh jadi di kemudian hari akan mati.
Memang ada tujuan-tujuan kelembangaan yang juga perlu dipenuhi, misalnya, menjalin silaturrahim sesama warga Nahdliyin di luar negeri, memperkuat jaringan internasional NU, dan menyebarkan amaliyah-amaliyah Nahdliyyah. Tetapi gerakan semacam itu bila hanya diperuntukkan kepada warga NU sendiri, yang sebagian besar berasal dari Indonesia dan bukan warga pribumi Eropa, maka hanya akan menambah lebarnya batas keterpisahan identitas Islam pendatang dengan identitas lokal Eropa.
Oleh karena itu, “pribumisai Islam Eropa” semestinya mulai dipikirkan ulang agar dalam setiap semangat dakwah ke-NU-an di luar negeri selalu sejalur dengan apa yang dahulu dirintis oleh As-Salafuna As-Shalih; tidak mengenyampingkan aspek-aspek budaya lokal, akan tetapi justru menjunjung tinggi budaya lokal yang positif, membuang budaya lokal yang destruktif, lalu kemudian mengambil spritit Islam NU Indonesia menjadi Islam NU yang betul-betul bercitarasa Eropa tanpa menghilangkan nilai-nilai dasar ke-NU-an dan nilai-nilai dasar budaya Eropa.
Problem Pribumisasi
Pertanyaan yang perlu segera diajukan selanjutnya adalah: apa yang membuat proses pribumisasi Islam di Eropa itu sulit dilakukan? Proses pribumisasi Islam Eropa tidak mudah dilakukan karena setidaknya ada dua faktor: faktor internal dan eksternal. Secara internal, identitas bangsa-bangsa di Eropa tidaklah tunggal. Eropa adalah gugusan “bangsa-bangsa yang berdaulat” sehingga mendefiniskan “apa itu identitas Eropa” merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah.
Di sisi lain, masyarakat Eropa memiliki sejarah panjang yang kurang simpatik terhadap agama. Sebelum Abad Pertengahan beralih ke Abad Pencerahan, posisi agama sangatlah dominan dan mengatur segala aspek kehidupan masyarakat Eropa. Namun begitu Abad Pencerahan lahir bersama kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, posisi agama nyaris terbenam oleh derasnya arus modernisasi di segala bidang. Tak sedikit dari masyarakat Eropa kemudian menjadi agnostik dan tak lagi percaya kepada segala hal yang bersifat imaterial apalagi agama.
Adanya faktor traumatik terhadap agama itulah yang kemudian menyulitkan Islam berkembang, merangkul berbagai lini paling mendasar dalam masyarakat Eropa. Meski sebagian besar paham politiknya adalah sosialis, namun hampir dalam setiap hal, orang Eropa berpikir sangat rasional atau bahkan individual. Berbeda dengan masyarakat kita yang setiap memutuskan sesuatu terkadang berbasis pertimbangan religius, orang Eropa tampaknya mengalami kesulitan mendasarkan keputusannya pada hal-hal yang bersifat religius karena memang tradisi semacam itu, akibat traumatik religi masa lalu, kini nyaris sulit ditemukan.
Sedangkan secara eksternal, proses pribumisasi sukar dikembangkan ketika melihat kencenderungan Islam yang dikembangkan oleh para muslim pendatang selalu ditempatkan secara “berjarak” dengan kehidupan masyarakat Eropa. Sedikit sekali komunitas muslim di Eropa yang berusaha menggerakkan Islam bersandingan dengan identitas budaya lokal Eropa. Umumnya, komunitas-komunitas tersebut selalu berdiri sendiri dan terpisah dari identitas lokal Eropa.
Di sisi lain, ada pula kecenderungan publik Eropa yang masih memandang Islam sebagai phobia. Sebuah contoh yang tak dapat dikesampingkan, ada puluhan remaja Eropa yang berhasil dipengaruhi pikirannya sehingga mau ikut berperang ke negara-negara konflik di Timur Tengah dan kemudian pulang ke Eropa menjadi militan garis keras yang setiap saat siap digerakkan untuk menteror penduduk Eropa dengan aksi-aksi anarkisnya.
Fakta-fakta inilah yang membuat proses pribumisasi sulit berjalan dan karena itulah, seperti penulis kemukakan di atas, PCINU Eropa memiliki peran strategis untuk trut serta meredam dan memutarbalikkan fakta tersebut dengan menampilkan sisi-sisi positif, humanis dan demokratis dari Islam kepada warga pribumi Eropa. Gagasan bahwa “universalisme Islam bukanlah Arabisme Islam” yang telah ‘selesai’ di NU, perlu dipropagandakan kembali di Eropa.
Untuk memutarbalikkan propaganda Islam anarkis yang mengancam itu, PCINU perlu berijtihad untuk melakukan redefinisi dan reaktualisasi konsep “pribumisasi Islam” supaya relevan dan cocok dengan kondisi masyarakat Eropa. Pribumisasi Islam dapat diletakkan sebagai alternatif dari problem ketegangan sejarah yang terus berulang antara budaya (‘adah) dan norma (shari’ah). Agama dan budaya memiliki independensinya sendiri, sebagaimana filsafat dan sains, kendatipun dalam sejarah keduanya selalu saling mengandaikan dan tak jarang terjadi tumpang tindih. Dalam konteks pengembangan Islam di Eropa, bila kedua hal tersebut minus dialektika, maka akhirnya hanya akan menghilangkan manfaat keduanya dalam memperkaya peradaban Islam itu sendiri dan hanya akan semakin memperlebar jarak di antara keduanya.
Dengan demikian, pribumisasi Islam berguna untuk membentuk identitas Islam lokal Eropa agar Islam yang berkembang di Eropa tidak melulu identik dengan Islam Timur Tengah atau Islam di luar keduanya. Pribumisasi juga berguna untuk menghindari gerakan purifikasi dan formalisme Islam, serta meletakkan Islam duduk bersanding dengan budaya lokal secara dialektis. Pribumisasi adalah suatu kebutuhan mendesak untuk menyandingkan agama dan budaya secara simultan dan bukan untuk tujuan polarisasi sebab polarisasi memang tak terhindarkan. Ia berproses dan menyesuaikan diri dengan kondisi dan budaya di mana Islam itu berkembang.
Dengan upaya redefinisi pribumisasi Islam tersebut, maka PCINU tidak dalam posisi berhadapan atau bertentangan dengan lokalitas Eropa, melainkan justru NU akan tampak sebagai komunitas muslim Eropa yang menempatkan Islam Eropa sebagai entitas religius dan budaya yang bersifat kontekstual, progresif, dan liberatif—tiga semangat yang tampaknya cocok dengan watak masyarakat Eropa saat ini.[]
*Penulis adalah penikmat pemikiran Gus Dur, tinggal di Brussels, Belgia.
Tulisan ini terbit di Majalah Bangkit, Edisi 09/TH. III/September-Oktober 2014 dan santrigusdur.com