Oleh M. Najib Yuliantoro
MEMBACA lembar demi lembah naskah dalam buku ini, ibarat menyelami samudera inspirasi dari putra-putri terbaik bangsa Indonesia. Mereka, dengan segala jerih payah pengorbanannya, menghabiskan detik demi detik hidupnya untuk mengais ilmu dan pengalaman di negeri orang, meninggalkan kemapanan di negeri sendiri, jauh dari keluarga dan orang-orang terkasih.
Di negeri yang asing itu, mereka, seperti dialami oleh sebagian besar mahasiswa di luar negeri, sesekali waktu mengalami kesepian dan suka-duka. Biarpun diselimuti suasana semacam itu, mereka tetap berjuang, membunuh waktu dengan membaca buku atau jurnal, mengerjakan penelitian, berdiskusi dengan supervisor dan kolega, menulis naskah ilmiah, begitu terus-menerus sampai suntuk, namun kemudian bangkit lagi tatkala teringat mimpi-mimpi besar akan keberhasilan, atau setidaknya harapan untuk menjadi orang berhasil, serta cita-cita untuk hidup bermanfaat terhadap sesama.
Hidup merantau, biarpun bersama keluarga maupun saudara, selamanya memang tak mudah. Selalu ada ujian dan bahkan godaan yang seringkali melenakan niat semula tujuan merantau tersebut. Tetapi, merantau, seperti kata cendekia muslim Imam Syafi’i, adalah usaha untuk memisahkan biji emas dari balutan tanah. Butiran emas, kata Syafi’i, selamanya tak akan disebut emas, jika tak dipisah dari tanah. Demikian pula dengan merantau, “tinggalkan negerimu dan hiduplah di negeri orang / berlelah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang / akan kau temukan pengganti dari orang-orang yang kau tinggalkan / merantaulah…”
Saint Augustine, konon dalam salah satu bukunya, pernah pula menyatakan betapa berharganya hidup dalam perantauan. “Dunia adalah ibarat sebuah buku. Mereka yang tak pernah merantau”, demikian tulisanya, “hanya membaca satu halaman saja.” Orang yang tak pernah merantau hanya akan memiliki pengetahuan terbatas dan keterbatasan itu hanya akan melelahkan hidupnya di kemudian hari.
Terdapat sedikitnya dua makna yang dapat dipetik dari kata merantau. Merantau secara fisik dan merantau secara non-fisik. Merantau secara fisik, secara ringkas, adalah membawa tubuh berkunjung ke tempat-tempat yang asing, yang bukan wilayahnya, kemudian di situ menetap dan terlibat, dan di situ pula terdapat pengharapan akan capaian sesuatu yang didambakan, entah berupa ilmu pengetahuan, uang, kesenangan atau sekadar kawan.
Merantau secara non-fisik, dalam maknanya yang lentur, dapat dimengerti sebagai pengembaraan pemikiran maupun spiritual, yang dituntun oleh suatu utopia, atau bahkan kepuasan, akan sesuatu yang tak terbatas, yang abadi, yang esensial. Pengembaraan semacam ini dapat diraih melalui banyak membaca dan laku spiritual, karena di situlah pengetahuan abadi akan yang esensial mungkin terpenuhi.
Para penulis dalam buku ini barangkali adalah para perantau dalam arti kedua-duanya. Mereka tak sekedar membawa tubuhnya menapaki negara yang dahulu mungkin hanya mereka temukan dalam cerita atau mimpi, namun mereka juga, dalam keterbatasan yang dimiliki, menjelajah tebalnya buku dan jurnal, menerjang rumitnya rumus-rumus, dan melawan kejenuhan uji coba laboratorium yang kadang berhasil dan kadang lebih banyak gagal. Dalam arti ini, mereka adalah para pejuang, yakni orang-orang tangguh yang amat rugi jika negara sebesar Indonesia tidak memanfaatkan karakter potensial itu secara sungguh-sungguh.
Indonesia adalah negara besar dengan potensi generasi produktif yang dahsyat. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menyebut sekitar 70% penduduk Indonesia adalah usia produktif (usia 15 sampai 64 tahun), termasuk di dalamnya adalah mahasiswa dan pelajar yang saat ini belajar di luar negeri. Bonus demografi ini adalah suatu kenikmatan dan kesempatan (window of apportunity) bagi bangsa Indonesia untuk melesat, mewarnai dan bahkan menguasai berbagai sektor utama di seluruh dunia.
Buku ini sejenak mengajak kita untuk melihat dan kemudian mengingat, bahwa ada sekian puluh bahkan ratus hingga ribuan generasi muda Indonesia yang cerdas, berpendidikan, terbuka dan kreatif, yang siap kembali ke tanah air untuk membangun negerinya. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa bangsa yang besar adalah bukan saja yang tak melupakan jasa pahlawannya, namun pula tak melupakan potensi besar generasi mudanya.
Begitu pula sebaliknya, sebagai generasi muda yang terbiasa hidup mandiri, mereka juga tak melulu berharap banyak pada bangsanya kecuali sekadar ingin terlibat secara bersama-sama melunasi cita-cita kemerdekaan, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Setelah pulang di negaranya, tak menutup kemungkinan, mereka akan menemukan hal-hal yang kerapkali tak sesuai dengan ekspekstasinya. Ada sekian banyak kelemahan dan kekurangan dari bangsa ini, biarpun itu tak layak untuk digerutui. Justru tugas utamanya adalah menambal kelemahan-kelemahan itu dan membangun bangsa ini bergerak progresif, melunasi cita-cita kemerdekaan tersebut.
Di luar itu, tanggung jawab mereka atas pencerahan dunia juga lebih mudah dilakukan, sebab modal budaya berupa pengetahuan, bahasa dan jaringan internasional sudah dimiliki. Ibarat sebuah pesawat, piranti-piranti dasarnya sudah terpenuhi, tinggal lepas landas dan kalau bisa melesat terbang tinggi, membawa gerbong bangsa ini menjadi pemain utama di tengah negara-negara besar dunia yang mulai menjenuhkan.
Merantau sampai ke negeri-negeri yang jauh, menyebabkan mereka menjadi pribadi yang matang dan dewasa. Dari kisah-kisah yang mereka tularkan dalam buku ini, tampak sekali bahwa mereka memiliki keterampilan, keahlian, kelincahan mengelola kehidupan, serta etos juang yang tinggi. Mereka adalah manusia-manusia yang sehat, cerdas, produktif dan merdeka. Mereka yang pernah tinggal di luar negeri, umumnya, tak mudah terbelenggu oleh fakta. Ketika fakta itu tak sesuai dengan harapannya, mereka tak putus asa, mereka bekerja keras untuk mengubah fakta tersebut. Ringkasnya, mereka adalah jiwa-jiwa muda yang idealis, yang mengerti bagaimana menjaga, mengawal dan menjalankan idealisme yang dimiliki oleh bangsa ini.
Tentu saja kita boleh bersyukur kepada Tuhan, mengingat jumlah generasi muda Indonesia yang berpendidikan dan terbuka wawasannya secara (inter)nasional kini jumlahnya mencapai ribuan. Mereka adalah ilmuwan, pemikir dan pekerja keras. Mereka adalah pejuang dalam arti sesungguhnya. Satu kesimpulan dari semua tulisan dalam buku ini adalah bahwa hidup tak mudah di perantauan menyebabkan mereka semakin mengerti bahwa Indonesia begitu indah, kaya raya, beragam, dan menjadi impian dari bentuk negara ideal. Ibarat surga, Indonesia secara genuine adalah tanah yang penuh berkah; sebuah keberkahan yang tak akan ada artinya jika penduduknya tak pandai mengelolanya.
Menutup tulisan ini, ada baiknya saya kutip ungkapan seorang bijak: merantaulah, wahai anak muda, belajarlah kepada siapa saja. Maka engkau akan mengerti indahnya dunia, maka engkau akan mengerti betapa indahnya rumah kita. Merantaulah, wahai anak muda, merantaulah sejauh mungkin, carilah saripati kehidupan. Maka di situ engkau akan temukan cara yang manis untuk menelusuri jalan pulang. Merantaulah dan lalu pulanglah.
—-
Epilog Buku Dimas Rahardian AM, M. Najib Yuliantoro, Sitta Fiakhsani Taqwim (eds.), Antimainstrem Scholarship Destination: Belajar dari Jantung Benua Eropa, Yogyakarta: Penerbit Lintas Nalar, 2016.