Oleh M. Najib Yuliantoro*
Melalui surat elektronik, KBRI Brussels memberi undangan untuk mengikuti Sosialisasi Pemilu 2014. Sebagai warga baru di Brussels, saya luangkan waktu untuk datang. Awalnya bukan untuk Pemilu, sebab sejak 2004, saya sudah kehilangan gairah untuk memilih. Kedatangan saya semata-mata untuk menjalin silaturrahim dengan sesama warga Indonesia yang ada di sini.
Begitu tiba di KBRI, saya berbaur dengan sekitar 50an warga Indonesia. Di antara mereka, ada yang usianya di atas 70an, ada yang masih muda belasan. Ada yang sudah tinggal di sini lebih dari 25 tahun, ada yang baru tiba beberapa hari seperti saya sekeluarga. Suasana begitu hangat dan bersahabat. Saling lempar cerita, lempar canda, lempar tawa.
Satu hal yang saya tak bisa mengelak untuk perlu ditulis di sini adalah loyalitas kebangsaan mereka. Tinggal jauh dari tanah air bukan lalu menjauhkan mereka dari akar identitas, akan tetapi justru semakin memperkokoh loyalitas mereka terhadap identitas yang pernah dimiliki, sebagai upaya menemukan kampung halaman di negeri orang.
Mau dibolak-balik macam apapun, darah mereka memiliki persambungan dengan darah orang Indonesia. Bukan kebetulan apabila pertemuan sesama orang Indonesia di luar negeri akan selalu terasa seperti pertemuan di kampung sendiri. Sebab mereka memiliki basis latar belakang yang persis, yakni latar belakang identitas budaya.
Modal Identitas
Filosof Perancis, Pierre Bourdieu, dalam karyanya yang klasik, The Forms of Capital (1986), menyebut fenomena semacam itu sebagai pengukuhan terhadap modal. Bourdieu memetakan modal dalam empat bentuk: ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik.
Bourdieu mengembangkan konsep modal sebagai ilmu manusia berbasis interdisipliner yang lentur, yang berupaya memperkenalkan “modal dalam segala bentuk” dan tidak hanya dalam satu bentuk yang diakui oleh teori ekonomi: uang dan barang.
Pembalikan teoritik ini perlu kita catat sebab Bourdieu relatif berhasil memberi tafsir baru bahwa modal dalam praktik-praktik sosial yang dihargai, tidak mesti melulu tersekat pada bentuk modal dalam pengertian ilmu ekonomi, yakni barang dan uang, akan tetapi juga dapat ditafsirkan sebagai modal lain yang bersifat immateriil.
Bourdieu menyebut modal sebagai “strategi investasi” dan “permainan masyarakat” baik secara individual maupun kelompok. Bahkan pada momen tertentu, modal dapat mewujud sebagai “struktur imanen” realitas sosial, yang fungsinya bertahan lama dan menentukan peluang keberhasilan suatu praktik.
Karena modal adalah “strategi investasi”, maka ia tidak datang tiba-tiba. Modal terbentuk melalui proses kerja akumulatif dan menyejarah. Ia ekslusif pada ranah tertentu. Pada ranahnya yang tertentu itu, modal memiliki diferensiasi, hierarki, keistimewaan, yang memungkinkan berlangsungnya “konversi” dari modal satu ke modal yang lain.
Segera perlu ditambahkan, dalam kerangka Bourdieu, modal budaya adalah syarat yang cukup kokoh untuk mengakumulasi modal yang lain. Sebab modal budaya merupakan hasil dari proses akumulasi yang panjang dan memiliki konsekuensi historis yang sulit dihindari.
Koneksitas Modal
Pengalaman yang baru saya alami di atas menunjukkan bahwa modal budaya justru berguna untuk membangun modal sosial. Kemauan orang Indonesia berkumpul untuk menyemarakkan Pemilu 2014 di negeri orang, merupakan sebuah bukti betapa kokohnya modal budaya yang mereka miliki, yang kemudian bermetamorfosis menjadi modal sosial.
Jika mereka pulang ke tanah air dan melihat langsung bagaimana dapur pemerintahan kita yang bobrok, barangkali mereka akan secepat kilat memutuskan untuk tidak menggunakan hak pilih. Akan tetapi karena loyalitas kebangsaan mereka yang tinggi, serapuh apapun rumah tangga bangsa kita, tanah air tetaplah tanah air.
Pada titik ini, modal budaya berkorelasi positif dengan terbentuknya modal sosial. Praktik dari situasi tersebut adalah loyalitas terhadap akar yang membentuk identitas mereka. Inilah ekses terhalus—dan patut dicurigai—dari “kekerasan simbolik” identitas. Atas nama “loyalitas” terhadap identitas yang sama, nalar kritis tergadaikan. “Loyalitas” semacam ini dapat terjatuh dalam “loyalitas buta”; sebuah kondisi yang justru tidak semakin membuat demokrasi kita semakin dewasa.
Buktinya, atas nama “loyalitas” terhadap akar identitas, hak pilih tetap mereka gunakan untuk menentukan yang terbaik di antara yang terburuk. Barangkali sikap rasional ketika memilih, masih tersisa. Namun jika sikap rasional itu tidak dibarengi dengan kritik internal, betapapun terdapat kemiripan budaya dan sosial pembentuknya, maka rasionalitas yang muncul adalah rasionalitas tipu-tipu. Begitu pula argumentasi yang terbentuk tak lebih sebagai retorika palsu.
Setelah kita melihat bahwa “loyalitas” berbasis persamaan identitas dapat terjatuh pada tumpulnya sikap kritis, maka yang perlu diupayakan dalam skema negosiasi modal-modal, bukan lagi loyalitas, melainkan “koneksitas”. Sebab koneksitas tidak menuntut loyalitas. Andaikan masih tersisa loyalitas dalam logika koneksitas, maka di dalamnya masih dapat diupayakan rasionalitas kritis. Rasionalitas kritis di sini merupakan ekspresi dari proses dialektika yang berlangsung dalam logika koneksitas.
Logika “koneksitas” berbasis persamaan identitas, dengan demikian, tidak mengandung represi simbolik dari modal satu ke modal yang lain, melainkan justru mempermudah apa yang disebut Bourdieu sebagai “konversi” di antara modal-modal—jika itu yang hendak diupayakan. Pada titik ini, modal-modal berada dalam situasi setara. Prinsip diferensiasi di antara modal-modal semakin nampak. Sementara prinsip independensi di dalam ranahnya masing-masing, semakin kukuh.
Melalui dasar pemikiran ini, meskipun orang Indonesia di luar negeri melimpah, kita tak lagi mungkin menuntut loyalitas kepada mereka. Yang diperlukan hari ini dari mereka cukuplah koneksitas. Melalui logika koneksitas ini, praktik sosial akan berlangsung lebih dinamis, sebab rasionalitas kritis masih diberikan ruang, dan modal-modal dapat saling mengkonversi tanpa tekanan.
Melalui logika koneksitas itu pula, pengakuan sekaligus penghargaan terhadap “the others” masih dimungkinkan. Maka, apabila kita masih berhasrat membangun sebuah pemikiran sosial kritis yang berimplikasi pada praktik, rekoneksi atas modal-modal itulah yang sejatinya perlu kita upayakan, dan bukan berjibaku pada loyalitas dogmatik yang justru dalam sejarahnya seringkali menghalalkan darah sesama.*
*Penulis adalah Alumni Fakultas Filsafat UGM, tinggal di Brussels.
Terbit di ALFIKR No. 25 Th. XX|/Rajab-Dzulhijjah 1435 H hlm. 24-25. Terbit 30 Agustus 2013 di situs Philosophy Angkringan.