Oleh M. Najib Yuliantoro*
Historisisme adalah tema penting yang terabaikan dari tradisi teori-teori individualis pengetahuan seperti empirisme dan rasionalisme. Istilah ini sudah menjadi perdebatan menarik sejak abad 18 melalui karya filsuf Italia, Vico, dan esais Perancis, Michel de Montaigne, serta menemukan momentumnya pada Hegel pada abad 19. Bertolak dari pandangan Hegel inilah, Marx kemudian juga terpengaruh menulis tema historisisme. Demikian pula Franz Boas juga sempat menulis tema ini terutama dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu sosial.
Namun, yang menarik, filsuf Inggris, Karl Raimund Popper justru mengkritik historisisme sebagai sebuah teori yang deterministik, utopis, dan terjebak pada totalitarianisme. Tulisan ini secara ringkas akan mengulas kritik Popper terhadap ide historisisme tersebut. Melalui ulasan ini, kita akan melihat bagaimana Popper, yang besar dalam tradisi analitik filsafat ilmu, mengupayakan kritik kepada kaum historisisme, yang besar dalam tradisi kontinental filsafat sosial politik. Dari sini kita juga akan melihat adanya pergeseran atau perluasan kajian Popper dari tradisi filsafat ilmu ke filsafat sosial dan politik.
Utopisme Sejarah
Secara umum historisisme membahas tentang “makna dasar dari konteks tertentu” seperti periode sejarah, tempat geografis, dan budaya lokal. Jelasnya, historisisme memaparkan “peran manusia dalam arus sejarah” atau secara khusus dimengerti sebagai “keterarahan sejarah”. Popper sendiri, sebagaimana tertulis dalam The Poverty of Historicism (1993), menjelaskan “historisisme” dengan pengertian: suatu pendekatan ilmu-ilmu sosial yang mengasumsikan bahwa prediksi sejarah adalah tujuan utama; dan mengasumsikan bahwa tujuan tersebut dapat dicapai dengan menemukan “ritme”, “pola”, “hukum”, atau “tren” yang mendasari evolusi arah sejarah.
Pertama-tama kita perlu memahami bahwa Popper besar dalam tradisi filsafat ilmu di Inggris. Sejak muda ia menekuni fisika dan matematika. Teorinya yang terkenal adalah falsifikasi; sebuah teori yang menjelaskan bahwa suatu penemuan dianggap sohih sejauh tidak ada yang memfalasifikasi. Jadi, suatu hipotesis yang diajukan (tidak peduli bagaimana hipotesis tersebut diperoleh), harus melewati pembuktian yang ketat untuk membuktikan validitas hipotesis tersebut. Jika tidak ada pembuktian, maka sebuah hipotesis selamanya hanya akan menjadi hipotesis, dan belum dapat dikenal sebagai hukum.
Kemudian terkait posibilitas prediksi dari suatu hukum alam, baik dalam ilmu eksakta maupun ilmu sosial, Popper juga berpendapat, tidaklah tunggal. Artinya, setiap hukum tidak dapat menjamin bahwa kisaran hasil yang mungkin, adalah hanyalah satu. Selalu terbuka bagi posibilitas baru, atau jawaban-jawaban tertentu yang bersifat alternatif, diluar prediksi jawaban dari hukum tersebut.
Melalui logika yang berasal dari epistemologi ilmu inilah, Popper kemudian bergerak melontarkan kritik. Ia merasa risih dengan logika yang digunakan oleh para imam historisisme seperti Hegel dan Marx. Menurut Popper, jelas tidak mungkin bagi kita menentukan keniscayaan masa depan sejarah. Selain terlalu utopis, ide Hegel tentang sejarah masyarakat, kata Popper, bersifat totalitarianistik, dan ide Marx juga terasa deterministik.
Popper berpendapat bahwa tindakan individu, atau suatu (re)aksi, tidak dapat diprediksi secara pasti. Sejarah masa lalu selalu memiliki keunikan tersendiri, begitupun peristiwa masa depan, juga akan memiliki keunikan tersendiri. Keduanya hanya dapat diprediksi, namun tidak dapat ditentukan. Jadi, kaum historisisme secara mendasar telah secara terang mengabaikan konstribusi, tanggung jawab, dan kebebasan individu dalam gerak evolusi sejarah.
Memang benar, dalam gerak sejarah, selalu terdapat pola dan tren yang tak terelakkan. Kendatipun demikian, satu kelemahan mendasar ide historisisme Hegel dan Marx, kata Popper, adalah terlalu terburu-buru menentukan akhir sejarah. Mereka seperti lupa bahwa sejarah seluruh masyarakat tidak mungkin diungkap secara utuh. Pasalnya, deskripsi, sebagai media pengungkapan, akan selalu bersifat terbatas. Apabila pengungkapan terhadap sejarah itu terbatas, maka manusia tidak dapat mengetahui apalagi menentukan bagaimana masa depan sejarah itu sendiri.
Karena itulah Popper kemudian menyebut setiap teori keterarahan sejarah yang berambisi “menentukan” akhir sejarah adalah musuh utama dari “masyarakat terbuka”. Pada titik ini kita segera tahu bahwa Popper menempatkan manusia sebagai elemen pokok suatu tindakan sejarah, dan karenanya tidak dapat dipaksakan untuk patuh kepada baik ritme yang dibangun secara teoritik maupun lembaga atau struktur sosial yang dibangun secara praktik. Individu sebagai elemen pokok dalam tindakan sejarah akhirnya memang tidak dapat sepenuhnya dikendalikan oleh ritme teoritik, lembaga, atau struktur sosial. Pasalnya, setiap upaya pengendalian secara penuh atas individu, maka akan selalu dicurigai sebagai totalitarianistik dan tirani.
Namun apabila keniscayaan sejarah tetap dipaksakan, maka proyek historisisme akan selalu membutuhkan “renovasi individu”. Tanpa “renovasi individu”, masyarakat baru yang dicita-citakan tidak mungkin terwujud. Inilah yang selama ini telah berlangsung di Uni Soviet dan China dibawah rezim politik komunisme. Pada akhirnya tirani dan totalitarianisme atas kebebasan individulah yang kemudian dijadikan sebagai mainstrem politik. Masyarakat komunis sebagaimana dicita-citakan sebagai hasil akhir dari gesekan sejarah antara kaum borjuis dan proletar, yang semestinya akan terlahir secara alamiah, akhirnya dipaksa terwujud melalui cara “revisi individu” tersebut (baca: kekerasan).
Dengan demikian “revisi individu” sama sekali tidak mempertimbangkan aspek kebebasan dan keunikan individu dalam ikhtiarnya membentuk sejarah. Popper memberi analogi yang menarik untuk hal ini. Jika kita ingin belajar sesuatu, tulis Popper, maka kita terikat untuk memilih aspek-aspek tertentu dari sesuatu tersebut. Tidaklah mungkin bagi kita untuk mengamati atau menggambarkan sebagian dari seluruh dunia, atau seluruh dari sebagian dunia. Pada akhirnya, tidak semua dari bagian terkecil dunia itu mungkin begitu saja dapat dijelaskan, karena setiap keterangan selalu bersifat selektif.
Melalui analogi ini, Popper lalu percaya bahwa sejarah manusia adalah peristiwa yang unik dan tunggal. Pengetahuan tentang masa lalu tidak selalu membantu seseorang untuk mengetahui masa depan. Popper menulis, “evolusi kehidupan di bumi, atau dari masyarakat manusia, merupakan proses sejarah yang unik; [sehingga] deskripsi tentangnya, bagaimanapun, bukanlah hukum, tetapi hanya pernyataan tunggal dari sejarah” (Popper, 1993).
Menegasi Akhir Sejarah
Sampai di sini kita lalu memahami, walaupun studi sejarah dapat mengungkapkan “tren”, namun studi sejarah manapun tidak dapat menjamin bahwa “tren” tersebut akan terus berlanjut. Dengan kata lain, “tren” tidak memiliki “hukum”. Lugasnya, Popper menganggap bahwa setiap pernyataan yang menegaskan adanya tren pada waktu dan tempat tertentu, akan menjadi pernyataan sejarah tunggal dan bukan hukum universal.
Perihal pokok yang selalu muncul dalam setiap penganut historisisme adalah kecenderungan selalu khilaf dalam memberi interpretasi terhadap teori sejarah. Ketika mempelajari teori sejarah, peneliti hanya dapat memeriksa aspek yang terbatas dari masa lalu. Dengan kata lain, peneliti harus menerapkan “interpretasi sejarah” secara terbuka untuk menghargai pluralitas validitas interpretasi yang mungkin orang lain dapat melakukannya lebih subur daripada yang lain.
Satu lagi kealpaan historisisme adalah hasrat yang kuat untuk selalu mewujudkan akhir sejarah masyarakat sesuai dengan yang dicita-citakan dalam “tren” sejarah yang dipahami. Padahal, menurut Popper, tujuan masyarakat dapat lebih berguna apabila dianggap sebagai masalah “pilihan” bagi masyarakat tersebut. Oleh karena itu, preferensi alternatif yang mungkin untuk merevisi logika historisisme adalah “sedikit demi sedikit mengupayakan rekayasa sosial”; sebuah perubahan kecil masyarakat yang dilakukan dengan selalu belajar dari perubahan yang telah dilakukan.
Perlu segera ditambahkan bahwa “rekayasa sosial” tidak bersifat “penentuan”, dan satu-satunya, dari akhir suatu sejarah. Akan tetapi cukuplah dipahami sebagai “pilihan” paling rasional dari berbagai pilihan yang mungkin dari suatu akhir sejarah. Dengan demikian “rekayasa sosial” tidak memiliki akhir yang pasti. Ketidakpastian masa depan ini membuat pengaruh dari setiap perubahan besar menjadi acak dan tidak bisa dilacak. Perubahan kecil memungkinkan seseorang untuk membuat pokok persoalan menjadi terbatas dan spesifik, tetapi pernyataan itu dapat diuji dan difalsifikasi oleh pengaruh tindakan sosial yang lain.
Akhirnya, setiap kita melihat sejarah, lagi-lagi, kita perlu mempertimbangkan kompleksitas dan keunikan interaksi pembentuknya, yang senyatanya seringkali melahirkan konsekuensi sejarah yang tak tersengaja. Eksperimen sosial dalam skala besar pun tidak dapat menjamin pengetahuan kita tentang akhir dari suatu sejarah. Dengan memahami faktor kompleksitas dan keunikan interaksi tersebut, maka hukum sejarah tidak bisa begitu saja dipraktikkan dalam ruang dan waktu yang berbeda. Setiap hukum sejarah hanya dapat berlaku untuk satu periode sejarah tertentu. Kesimpulan ini sekaligus sebagai petunjuk bagi kita bahwa kita perlu membangun sejarah bangsa kita berdasarkan atas pilihan-pilihan yang mungkin, yang ada di dalam realitas bangsa kita, bukan lagi “comot-mencomot” dari sejarah bangsa lain yang seringkali tak jelas kemana jeluntrungnya.***
*Penulis alumnus Filsafat UGM, tinggal di Brussels
Terbit di Philosophy Angkringan, 18 September 2013
REFERENSI
Gorton, William A., 2006, Karl Popper and the Social Sciences, Albany: State University of New York Press
Jarvie, Ian & Pralong, Sandra (ed.), 1999, Popper’s Open Sciety After Fifty Years: The Continuing Relevance of Karl Popper, London & New York: Routledge
Popper, Karl, 1945, The Open Society and Its Enemies, Volume I & II, London and New York: Routledge
Popper, Karl, 1993, The Poverty of Historicism, London and New York: Routledge
Shearmur, Jeremy, 1996, The Political Thought of Karl Popper, London & New York: Routledge