Oleh M. Najib Yuliantoro
Kilas Balik
Sejak kami menikah tahun 2011, Erasmus menempati urutan pertama dari sekian daftar beasiswa yang rencana kami kirimi aplikasi. Pada akhirnya, di tengah kesibukan koas di berbagai kota, istri saya, Prenali Dwisthi Sattwika, membuka jalan. Ia terpilih sebagai principal candiate beasiswa Erasmus Panacea di Universite Catholique de Louvain (UCL), Brussels, Belgia.
Prenali tidak mau berangkat kalau tidak bersama suaminya. Saya tetap mendorongnya untuk berangkat, mengingat kesempatan baik tidak datang dua kali. Tanpa sepengetahuan dia, saya diam-diam mengontak seorang profesor dari Vrije Universiteit Brussel (VUB), yang sekarang menjadi supervisor S3 saya. Tujuannya, saya meminta untuk diperkenankan melakukan visiting research untuk penelitian S2 saya di UGM. Kebetulan pada awal 2013 beliau pernah datang mengajar di Fakultas Filsafat UGM, jadi dengan tangan terbuka, beliau pun menerima permintaan saya.
Beliau menyarankan saya untuk menghubungi Dekan Fakultas Filsafat UGM. Baru saya tahu bahwa ternyata telah ditandatangi MoU antara UGM-VUB sehingga dengan MoU tersebut memungkinkan saya, sebagai mahasiswa S2 UGM, untuk mengikuti program visiting research di VUB, biarpun tanpa beasiswa. Saya hitung-hitung isi dompet, bismillah berani ambil. Singkat cerita, berkat rekomendasi dari sang dekan dan profesor diperkuat oleh MoU VUB-UGM, Kedutaan Belgia berbaik hati mengeluarkan visa studi untuk kegiatan visiting research tesis saya di VUB atas biaya sendiri.
Kami sekelurga senang bukan main. Menemani istri belajar di UCL akhirnya kesampaian. Saya pun juga tidak nganggur karena bisa membunuh waktu untuk melakukan penelitian tesis dan mengikuti beberapa kelas yang diampu profesor saya di VUB. Selebihnya, kebahagian kami berlipat-lipat karena, berkat rahmat Allah, saat kami sedang mengurus visa di Jakarta, tumbuh janin seorang bayi di rahim Prenali. Bismillah, 19 Agustus 2013, saya, Prenali dan “Hilyard kecil” terbang ke Brussels.
Keluarga Baru
Sebelas bulan tinggal di Brussels telah meninggalkan jejak persahabatan dan kekeluargaan yang mendalam di keluarga kami, baik dari sesama Indonesia maupun dari warga internasional. Keluarga kecil kami semakin berwarna ketika Hilyard lahir pada 11 Februari 2014, tepat dua hari sebelum Gunung Kelud meletus.
Saya bersyukur, nyaris selama 10 hari di Saint-Luc Hospital, banyak sekali keluarga dan sahabat di Brussels yang datang menjenguk Hilyard. Bahkan ada yang membawa makanan Asia, sehingga Prenali memiliki selera makan yang tinggi. Sampai hari ini, saya dan Prenali suka sering merasa sedih karena belum bisa membalas apa-apa kepada mereka. Yang baru kami bisa lakukan hanyalah berdoa, semoga Allah memberi kebaikan berlipatganda kepada mereka.
Mungkin karena suasa yang positif itulah, saya memutuskan untuk mengambil PhD di VUB. Harapan kami, semoga Hilyard bisa kembali lagi ke tanah kelahirannya dan melewati masa kecilnya yang menyenangkan di Brussels. Saya utarakan niat ini ke profesor dan, seperti biasa, segera disarankan untuk mengurus segalanya seawal mungkin. Saya kemudian mengirim email ke bagian International Relations and Mobility Office (IRMO) VUB. Menanyakan kemungkinan beasiswa untuk PhD. IRMO menyarankan agar saya mendaftar Erasmus tahun depan, 2015, karena pendaftaran sudah tutup untuk tahun ini, 2014.
Saya lalu mengontak koordinator beasiswa Erasmus Lotus di Universiteit Gent, menanyakan kemungkinan beasiswa Erasmus untuk program PhD tahun 2015 di VUB. Karena setahu saya, program Lotus Unlimited akan berakhir tahun 2014. Surprisingly, ternyata kuota pendaftar Lotus jauh di atas cukup. Pihak Lotus mengabarkan akan membuka lagi Call for Aplication periode III dalam dua minggu lagi.
Sambil menunggu waktu, saya persiapkan seluruh dokumen yang dibutuhkan. Tiba waktu pendaftaran, aplikasi saya submit dan melupakannya. 29 Juli 2014, sehari setelah lebaran di Brussels, kami bertiga pulang ke Yogyakarta.
Kembali ke Brussels
Dini hari, 24 November 2014, Prenali mendadak membangunkan saya. Dia menyodorkan tablet dan meminta saya membaca sebuah email. Sambil menahan kantuk, saya baca isi email tersebut yang ternyata dari Lotus: “It is with great pleasure that we can inform you that you have been granted a scholarship […] at Vrije Universiteit Brussel”.
Seketika mata saya terbelalak. Tak percaya, belum genap 4 bulan di tanah air sudah dipanggil lagi untuk kembali ke Brussels. Aplikasi beasiswa Erasmus saya diterima. Saya peluk istri dan anak saya, “Alhamdulillah, ini adalah rizkinya Hilyard.”
Segera saya ke kamar Eyang Putrinya Hilyard, membangunkannya, dan mencium tangannya. Prenali berkata pelan ke Bunda, “Alhamdulillah, Mas Najib ke Belgia lagi, Bunda.” Esoknya saya telpon Abah dan Ibu di Tulungagung. Ekspresi Abah datar tapi saya merasa getaran kebanggaan dari batin Beliau. Berbeda dengan Mamak yang tampak terkaget-kaget. “Belgia iku ngendi? Adoh endi karo Mekah?” [Belgia itu dimana? Sama Makah lebih jauh mana?]. Maklumlah, perjalanan paling jauh Ibu adalah Makkah, jadi setiap ada yang ke luar negeri, yang selalu jadi ukuran adalah Makkah. Tapi kemudian pertanyaan inilah yang agak sulit saya jawab, “Opo pikiranmu kuat kuliah S3 ning kono?” [Apa pikiranmu kuat kuliah S3 di sana?]. Agak lama saya jawab, “Nggih, dongane mawon, Bu” [Ya, doanya saja, Bu”].
Saat menerima kabar gembira itu, pada siang harinya, Bunda dan Prenali sedang mencatat kebutuhan adik kami, Karina Ambar Sattwika, yang sebentar lagi akan ke Hungaria untuk exchange student di Corvinus University of Budapest, juga atas beasiswa Erasmus. Pada saat yang sama, adik saya, Nur Haris ‘Ali, sedang gencar-gencarnya mengirim aplikasi beasiswa studi ke berbagai funding. Alhamdulillah, pada tahun 2016, juga diterima studi S2 di Spanyol, juga atas beasiswa Erasmus. Jadi, bukanlah mengada-ada kalau sebenarnya nama yang pas untuk keluarga kecil kami adalah Keluarga Erasmus, bukan?
Jejak Filsafat di Belgia
Pertengahan bulan Agustus 2014, kawan baik saya dari Paris berkunjung ke Brussels bersama istri dan anak pertamanya yang baru berusia 1 bulan. Pada musim panas yang menyenangkan itu, kami menghabiskan waktu bertukar cerita dan mengunjungi beberapa tempat favorit di Brussels seperti Grand Place, Atomium, Cinquantenaire Park, dan beberapa tempat lain.
Sore harinya, setelah istri dan anak-anak kami istirahat, kawan itu mengajak saya mencari sebuah apartemen tua di daerah Ixelles. Selama hampir 11 bulan tinggal di Brussels, saya belum pernah merambah tempat tersebut. Begitu sampai di tempat tujuan, saya baru sadar bahwa ia tengah mengajak saya mengunjungi situs penting dalam sejarah filsafat ekonomi, yakni sebuah apartemen tua yang dulu pernah ditempati oleh filsuf Karl Marx, pencetus ide aliran komunisme. Di apartemen tua itu, Karl Marx menghabiskan dua tahun hidupnya untuk menulis buku yang kemudian buku tersebut cukup berpengaruh bagi gerakan sosialisme di seluruh dunia yang berjudul the Communist Manifesto.
Esok harinya, saya mencari informasi tentang jejak Karl Marx di Brussels. Barulah kemudian saya ketahui, bahwa selama tinggal di Brussels, sebuah kota yang saat itu dikenal paling liberal di Eropa, Karl Marx tak hanya tinggal di Ixelles, tetapi berpindah-pindah sampai 5 kali, diantaranya di Le Cygne Grand Place dan Sint-Goedele Cathedral. Di tempat terakhir ini, Marx tinggal bersama kawannya, Friedrich Engels, dan seorang pendiri Zionisme, Mozes Hess. Saya pun mulai menyadari bahwa jejak-jejak para filsuf yang sebelumnya hanya saya baca lewat buku dan internet, ternyata berada di sekitar saya. Maklum jika saya ketinggalan informasi berharga tersebut, pasalnya selama ini saya lebih banyak belajar filsafat politik sains, bukan sejarah filsafat Marxis. Ya, kita mungkin dapat melihat tempat-tempat bersejarah seperti itu melalui internet atau buku. Namun, pengalaman bisa melihat secara langsung jejak proses kreatif karya-karya mereka melalui mata terbuka, bagi saya, memberi pengalaman batin yang tak mudah ditemukan melalui internet maupun buku.
Melalui salah satu pengalaman itulah, setelah masa pertukaran mahasiswa program master saya selesai pada akhir Agustus 2014, saya berniat kembali ke ke kota kelahiran filsuf Claude Lèvi-Struss ini dengan persiapan lebih baik. Selama di VUB, saya belajar hubungan filsafat dan agama. Tepatnya, saya belajar pemikiran filsafat pragmatisme tentang agama dan nalar publik. Profesor pembimbing saya mengarahkan saya untuk meneliti persoalan ini sebab ia melihat bahwa filsafat pragmatisme, dalam beberapa hal, memiliki persamaan dengan filsafat Pancasila—kebetulan saat ia mengajar selama tiga bulan di Universitas Gadjah Mada, ia cukup tertarik dengan filsafat Pancasila. Titik persamaanya, menurutnya, kedua paham filsafat tersebut memberi ruang kepada agama untuk terlibat secara proporsional dalam pertukaran gagasan di ruang publik baik sebagai dasar nilai maupun orientasi nalar kebijakaan publik.
Suasana keberagaman di Belgia memang memiliki dimensi yang berbeda dari Indonesia. Namun demikian, lima prinsip Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi Permusyawaratan, dan Keadilan Sosial), menurut profesor saya, memiliki kerangka ideologi yang aktual dan relevan dalam mengatasi berbagai persoalan keberagaman di Belgia.
Melalui arahan spesifik dan dorongan yang cukup besar dari profesor saya itulah, pada proses studi saya di kampus yang baru berusia 46 tahun ini, saya niatkan untuk menjalankan dua misi sekaligus. Pertama, menjalankan misi pendidikan, yakni melanjutkan pendidikan doktoral di luar negeri untuk memperoleh pengalaman akademik yang berkualitas internasional. Kedua, menjalankan misi diplomatik, yakni berusaha memperkenalkan, mendalami, menguji, serta mendialektikakan filsafat Pancasila dengan tradisi pemikiran filsafat Barat, dalam hal ini pragmatisme, terutama dalam relasinya dengan agama dan nalar publik.
Situasi Keberagama(a)n di Belgia
Sebagai salah satu negara kecil di Eropa, Belgia bisa dikatakan sebagai negara urban dan multikultural. Terdiri dari tiga bahasa nasional, yakni Perancis, Belanda, dan sedikit Jerman. Biarpun di beberapa perguruan tinggi dan kantor tak sedikit yang menggunakan bahasa Inggris, masyarakatnya berasal dari para pendatang, seperti dari Italia, Perancis, Belanda, Maroko, Portugis, Spanyol, Turki, Jerman dan sebagainya.
Beberapa tempat, misalnya di Vrije Universiteit Brussel, ekspresi agama apapun dilarang untuk dilakukan. Kawan saya sempat dilarang shalat di area universitas karena memang kampus tersebut mengimani kredo bahwa kampus bukanlah tempat untuk ekspresi agama apapun.
Meski demikian, beberapa kampus lain, UCL misalnya, cukup menghargai ekspresi keberagamaan. Meski berbasis Katolik, di salah satu sudut dalam gedung gereja universitas, terdapat satu ruang yang diizinkan oleh gereja sebagai tempat shalat (mushalla) bagi umat Islam. Pemandangan ini tentu menujukkan betapa kehidupan antarumat beragama di UCL terjalin cukup baik dan menunjukkan ekspresi pluralisme yang layak diapresiasi.
Potret harmonisasi antar umat beragama di UCL itu berbeda dengan situasi di Scharbeek, sebuah daerah yang tak jauh dari kota Brussels. Di kota yang sejuk ini, masyarakat muslim Indonesia berencana mendirikan Indonesian Islamic Cultural Centre (IICC), semacam pusat kebudayaan Islam Indonesia yang juga dapat difungsikan sebagai tempat ibadah. Namun, penolakan sebagian warga sekitar, yang diinisiasi oleh salah satu LSM lokal, menjadi potret yang lain bahwa hubungan antarumat beragama di negara ini belum bisa dikatakan tuntas.
Paparan di atas hanya beberapa potret kecil dari muara yang lebih mendasar yang terjadi di Belgia, yakni problem nasionalisme. Tak adanya platform bersama dalam mengatasi berbagai perbedaan budaya, bahasa, dan orientasi politik kebijakan di pemerintahan Flanders dan Wallonia, menyebabkan negara ini tidak memiliki nasionalisme yang kokoh sebagaimana Perancis, Inggris, atau Jerman. Komunikasi antarpemerintah tak efektif karena perbedaan bahasa sehingga menyebabkan tanggung jawab mengelola negara tidak optimal. Kondisi inilah kemudian yang memicu lahirnya potensi-potensi ekstremisme baik yang berasal dari persoalan internal mereka sendiri maupun yang berasal dari luar.
Salah satu contoh yang berasal dari luar misalnya seperti yang baru saja terjadi dan menjadi isu utama European Union, adalah maraknya generasi muslim Belgia yang tertarik pada cita-cita Islam ekstremis. Tercatat pada tahun 2015, terdapat 100 orang lebih yang disinyalir telah tercuci otaknya karena mengikuti aktivitas kekerasan atas nama Islam di Syiria. Untuk mengunci tren cuci otak yang menyesatkan ini, Pemerintah Belgia melalui KU Leuven intensif menyelenggarakan pendidikan Islam yang damai kepada para imam masjid di Belgia. Indonesia adalah salah satu negara yang ditunjuk oleh KU Leuven menjadi perumus kurikulum, sebab Indonesia dianggap sebagai representasi Islam damai yang sesuai dengan prinsip-prinsip bermasyarakat di Belgia.
Berbasis pada tiga persoalaan inilah, yakni hubungan antarumat beragama, nasionalisme, dan ekstremisme, kehadiran prinsip-prinsip utama Pancasila, sebagaimana disebutkan oleh supervisor saya tadi, menjadi relevan. Ia tak hanya bermanfaat sebagai platform dasar negara, tetapi juga mampu mengikat relasi-relasi yang akan terjalin di ruang-ruang publik di Belgia.
Refleksi untuk Indonesia
Di Indonesia, Pancasila lahir dari tradisi filsafat integralistik dan holistik yang pemikiran-pemikiran atas hal ini dapat kita telusuri melalui gagasan-gagasan para pendiri Republik. Visi bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang tak terkekang oleh pandangan suatu golongan apapun, sebuah bangsa yang merdeka dari segela bentuk penjajahan. Karena itu, jargon Bhineka Tunggal Ika digunakan sebagai platform himpunan yang mewujud dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tradisi filsafat ini berbeda dengan tradisi filsafat di Belgia, yang segera akan diketahui, juga terjadi di negara-negara tetangganya, yakni Perancis, Inggris, Jerman ataupun Belanda.
Tradisi filsafat yang berkembang di Belgia, seperti diketahui dari kecenderungan penelitian di beberapa jurusan filsafat di perguruan tinggi Belgia, bermuara dari setidaknya tradisi pemikiran filsafat yang berkembang di Eropa secara umum, yakni analitik dan anglo-saxon. Ini juga menjadi refleksi bahwa sesungguhnya tidak ada aliran filsafat yang dominan di Belgia. Semua aliran filsafat dipelajari dan memiliki pemuka dan pengikutnya masing-masing.
Adanya tradisi berpikir filsafat parsial dan tak holistik itulah yang menyebabkan rumitnya membawa negara Belgia menuju visi holistik sebagaimana menjadi karakter Pancasila. Untuk itu, jalan kelur dari kebuntuan ini adalah diperlukan radikalisasi berpikir dan berfilsafat yang selama ini menajdi kecenderuangan di beberapa universitas di Belgia. Spesialisasi dalam filsafat dalam beberapa hal diperlukan, tetapi pada momen-momen tertentu perlu dikritisi sebab, sebagaimana tradisi filsafat di Indonesia, filsafat bukanlah disiplin sains. Di Indonesia, filsafat lebih banyak dikembangkan sebagai generalisasi pemikiran untuk mendapatkan sebuah sistem pandangan filsafat yang holistik dan menyeluruh.
Berdasarkan uraian serba ringkas di atas, maka Belgia dan Indonesia perlu saling belajar untuk mengebangkan sebuah negara yang kuat dan bermartabat. Hal-hal yang perlu Belgia pelajari dari Indoensia, dalam hemat saya, ada beberapa hal.
Pertama, strategi mengelola keberagamaan yang mengedepankan asas harmonisasi bersama di atas golongan, suku dan bahasa. Pengelolaan ini penting untuk melahirkan nasionalisme-universal. Artinya, bukan nasionalisme yang tidak hanya mendahulukan kepentingan negara, tetapi juga nasionalisme yang juga memperhatikan hubungan universal antarnegara-negara di dunia.
Kedua, belajar mengelola kebijakan dalam menghadapi ekstremisme. Setidaknya terdapat dua cara yang selama ini dilakukan oleh Indonesia, yakni melalui jalur intelijen dan jalur kultural. Jalur intelinjen berhubungan dengan strategi taktis menghentikan pergerakan ekstremis. Adapun jalur kultural melalui merangkul berbagai organsaisi sosial keagamaan untuk membendung akar pemikrian ekstremisme yang berkembang di masyarakat.
Sebalikanya, Indonesia pun juga perlu belajar dari Belgia terutama dalam hal, pertama, spesialisasi pendidikan filsafat. Selama ini tradisi pendidikan filsafat di Indonesia adalah generalis sehingga negara ini kekurangan pemikir-pemikir spesialis. Urgensi hadirnya filsuf spesialis adalah dapat mengatasi persoalan-persoalan filosofis yang bersifat praktis. Seperti pada studi-studi sains, misalnya, diperlukan filosof yang mampu menjawab problem-problem praktis para saintis, misalnya soal etika penelitian dan produk penelitian. Harus mulai dikembagkan jurusan-jurusan filsafat terapan (applied philosophy) dan hal itu dapat kita adopsi, tentu dengan bebeberapa penyesuaian, dari Belgia.
Pelajaran kedua dari Belgia, adalah sistem pendidikan filsafat yang disiplin dan istiqomah. Saya melihat para profesor dan peneliti filsafat di sini sangat concern pada isu tertentu dan tidak pernah berpindah-pindah topik. Intensitas pada topik tertentu dilakukan secara mendalam berbasis pada studi literatur yang mengagumkan. Poin ini, menurut saya, yang absen dari tradisi penelitian filsafat di Indonesia. Sedikit sekali para peneliti filsafat yang concern pada topik kajian tertentu dan kemudian diakui secara publik sebagai ahli dalam bidang tertentu tersebut.
Tips Sederhana Meraih Beasiswa
Di era akses informasi yang begitu luas saat ini, strategi bagaimana mendapatkan beasiswa sangat mudah kita temukan di internet. Beberapa yang saya rasa cukup membantu adalah Erasmus Mundus, blog I Made Arsana, Indonesia Mengglobal. Untuk kali ini, saya hanya ingin memberi penekanan beberapa saja yang sifatnya sangat sederhana namun menurut pengalaman saya, cukup penting.
Pertama, syarat dan rukun dipenuhi. Maksudnya, pelajari baik-baik seluk-beluk beasiswa dan universitas yang ingin diincar. Istilah saya: syarat dan rukun aplikasi sebisa mungkin dipenuhi, seperti ijazah, transkrip, motivation letter, letter of reference, dan bahasa. Untuk tips dan trik aplikasi, saya belajar banyak dari tiga link tersebut di atas.
Kedua, baca question & answer. Saya suka menghabiskan berjam-jam untuk mempelajari satu universitas atau pemberi beasiswa sampai saya benar-benar paham. Jika tidak paham, saya biasa berkirim email ke kontak person yang biasa tersedia di bagian contact universitas atau beasiswa. Namun, sebelum email dikirim, saya biasa baca dulu Q&A. Karena bisa jadi pertanyaan-pertanyaan kita sudah terwakili dan terjawab di sana.
Ketiga, coba saja dan tidak perlu takut gagal. Saya tipe orang yang takut mencoba karena sudah dibayang-bayangi oleh kegagalan. Istri saya lah yang selama ini menjadi penyemangat. Bahwa mencoba dan gagal itu sudah fitrah seorang pembelajar. Jadi, kenapa mesti takut mencoba dan gagal? Kita tidak akan pernah tahu sejauh apa kemampuan kita jika tidak pernah mencoba. Intinya, tak perlu patah semangat. Kalau ingin studi ke luar negeri, coba saja daftar. Toh, gratis. Kalau diterima alhamdulillah. Gagal, coba lagi.
Keempat, tak perlu berkecil hati. Percayalah, bahasa Inggris saya pas-pasan. Sebenarnya tak layak untuk ukuran international student. IPK tidak mentereng.
Kuliah sering kurang tertib dan kurang disipilin. Kalau diajak ngobrol, loading lama. Minus prestasi, sepi publikasi, dan masih banyak lagi kekurangan lainnya. Intinya, saya yang segini saja bisa lolos, tentu kalian memiliki kemungkinan besar untuk lebih berhasil.
Kelima, doa orangtua dan guru atau dosen. Bagian ini tak kalah pentingnya bahkan sangat penting. Istri saya sering bilang, berkah doa orangtua, perjalanan keluarga kecil kami bagai akumulasi dari keberuntungan-keberuntungan. Istilah orang sekarang “bejo” alias beruntung.
Menutup tulisan ini, satu ajaran Tao yang saya suka sekali dan berusaha dapat mempraktekannya. “Tahukah Anda mengapa samudera bisa menjadi batang air terbesar di dunia ini? Karena ia selalu merendahkan dirinya dari seluruh sungai dan mata air.” Jadi, menjadi apapun kita kelak, mari kita selalu bersikap rendah hati. Pintar itu perlu, tapi lebih perlu lagi budi pekerti yang baik, bukan?
—-
Tulisan di atas terbit dalam buku Dimas Rahardian AM, M. Najib Yuliantoro, Sitta Fiakhsani Taqwim (eds.), Antimainstrem Scholarship Destination: Belajar dari Jantung Benua Eropa, Yogyakarta: Penerbit Lintas Nalar, 2016.